Rabu, 31 Oktober 2012

MASA DEPAN PENDIDIKAN NASIONAL DI KAPUR GURU IDAMAN

Johan Aristya Lesmana

Pendidikan nasional diracik dengan berbagai ramuan pemikiran yang diimpor dari berbagai sistem, terutama sistem pendidikan yang berporos pada project memanusiakan manusia ala Amerika Latin. Selayang pandang perjalanan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia bermuara pada dibentuknya Taman Siswa di Yogyakarta oleh Raden Mas Suwardi Surjaningrat akrab dipanggil Ki Hadjar Dewantara yang kemudian dinobatkan sebagai Bapak Pendidikan Nasional. Bahkan hari Pendidikan Nasional yang biasa diperingati setiap 02 Mei jatuh pada tanggal kelahirannya, yaitu 02 Mei 1889. Dalam banyak kesempatan, para pemikir pendidikan mencetuskan banyak teori mengenai sistem pendidikan. Teori-teori ini yang kemudian menjadi landasan pemerintah untuk menerapkan Sistem Pendidikan Nasional.

Quo Vadis Pendidikan Indonesia?
Adalah hal yang telah lumrah diperbincangkan para aktor pendidikan, baik yang berada di depan maupun belakang layar. Bahwa arah kemajuan bangsa selalu beriringan dengan penyelenggaraan pendidikan Nasional yang mapan. Jika ditelaah lebih lanjut, wacana berikut akan mengantarkan pada sebuah pertanyaan tentang mau dibawa kemana pendidikan nasional?. pertanyaan ini bagaikan gerimis yang tak kunjung reda untuk dikaji dalam berbagai lingkaran diskusi. Berbagai literature yang menyokong wacana ini cukup membanjiri deretan etalase toko buku. Namun, entah mengapa sampai pada hari ini pertanyaan ini belum juga didapat solusinya. Hal ini terbukti dengan silih bergantinya sistem pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah. Jelas tergambar bahwa pemerintah dewasa ini masih mencari sistem pendidikan yang ideal untuk masa kini—untuk tidak dikatakan mencari sistem pendidikan yang tepat—yang bisa diterima oleh berbagai kalangan dan mudah dalam penyelenggaraannya di ranah masyarakat luas secara menyeluruh.
Dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II Pasal 3 menyebutkan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Isi dari UU berikut menegaskan bahwa arah Pendidikan Nasional akan dibawa ke arah pengembangan karakter yang bermutu. Karakter ini yang kemudian menjadi landasan bagi pemerintah untuk membangun bangsa yang berkeadaban.


Guru sebagai Pendidik
Untuk mewujudkan tujuan Pendidikan  di atas, maka perlu untuk menengok pada kependidikan yang paling berpengaruh dalam penyelenggaraannya, yakni pendidik (baca: guru). Dalam hal ini diatur dalam UU Sisdiknas pada Bab XI Pasal 40 butir ke-2 poin pertama tentang kewajiban pendidik, yaitu “Pendidik berkewajiban menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis.” Jelaslah bahwa guru memiliki peran sentral dalam penyelenggaraan pendidikan yang bermutu disamping peran serta masyarakat tentunya.
Guru sebagai orangtua kedua memiliki peran yang penting dalam pengembangan Sumber Daya Manusia yang bermutu. Oleh karena itu, perlu kiranya untuk mengembangkan pula kemampuan guru yang professional untuk menciptakan suasana pendidikan yang berkarakter.   Hal ini disebabkan gurulah yang berada di barisan terdepan dalam pelaksanaan pendidikan, gurulah yang langsung berhadapan dengan pesewrta didik  untuk mentransfer  ilmu pengetahuan dan teknologi sekaligus mendidik dengan nilai-nilai positif melalui bimbingan dan keteladanan. Dari hal tersebut guru mempunyai misi dan tugas yang berat, namun  mulia dalam mengantarkan tunas-tunas bangsa ke puncak cita-cita.. oleh karena itu sudah selayaknya guru mempunyai berbagai kompetensi yang berkaitan dengan tugas dan tanggung jawabnya. Dengan kompetensi tersebut, maka akan menjadi guru yang professional, idola, dan idaman semua murid, baik secara  akademis maupub nonakademis.

Tinjauan Historis
Paradigma mengajar menjadikan seorang guru memiliki mental otoriter atas segala wewenang pengajaran dan murid-muridnya. Dalam kewenangan ini ia akan menganggap dirinya paling tahu, paling mengerti, dan paling penguasai. Sementara muridnya harus meminta segala pengetahuan , pengertian, dan penguasaan yang diberikan olehnya. Hubungan antara guru dan murid menjadi formal, kering, dan lebih didasarkan penugasan dan penilaian satu arah. Maka yang terbentuk bukanlah karakter pribadi murid yang berkembang baik dengan segala keunikannya, dengan segala perilaku dan gaya belajarnya yang khas, melainkan penyeragaman atas karakter pribadi, perilaku dan gaya belajar murid  demi melayani kemauan dan kehendak mengajar seorang guru. Sedangkan paradigm belajar menjadikan seorang guru memiliki mental egaliter, memahami kesetaraan dirinya dalam proses belajar-mengajar dengan para muridnya. Dengan mentalitas seperti ini dia akan memungsikan diri sebagai fasilitator  dan mitra belajar yang saling menghormati dan menghargai demi kemajuan bersama. Hubungan yang terbangun antara guru dan murid menjadi pro-aktif dan selaras dengan pendekatan saling memahami sesuai keunikan karakter pribadi, perilaku dan gaya belajar masing-masing murid. Maka murid akan merasa dihargai dan terdorong mencari bentuk terbaik dari kepribadiannya yang unik, sehingga mengoptimalkan kemampuan belajar yang sesuai dengan kepribadiannya. Inilah gambaran guru yang menjadi idaman semua murid yang diajarnya. Seorang guru yang memiliki jiwa hidup, yang mampu memberikan pengajaran melalui kedalaman cinta berupa kebahagiaan, kasih saying, dan pemahaman terhadap karakter dan kepribadian sertta perilaku dan gaya belajar murid-muridnya, lantas menempatkan mereka dalam proses belajar mengajar yang tepat.

Sosok Guru Idaman
Amir Tengku Ramly dalam bukunya Menjadi Guru Idola (8,2005) menegaskan bahwa karakteristik guru Idaman ketika melaksanakan tugasnya meliputi; menagajar dari kedalaman cinta, menagjar untuk kebagagiaan, mengajar untuk kesadaran, mengajar untuk memahami, mengajar untuk pembebasan, mengajar untuk kompetensi, dan mengajar untuk belajar. Ketujuh karakteristik berikut merupakan motivasi seorang guru idaman dalam menjalankan amanahnya sebagai seorang pengantar kesuksesan dunia akhirat. Dalam proses mengajar di dalam kelas pun harus selalu menanamkan nilai-nilai demokrasi yang membebaskan cara dan gaya belajar siswa dan juga memahami kebutuhan siswa yang memiliki kemampuan khusus di bidang inderanya masing-masing. Dalam memahami jenis karakter siswa yang berbeda, Sang Guru Idaman selalu memberikan fasilitas yang beragam dalam penyampaiannya, tak heran jika ruang belajar pun dapat dilakukan diamana pun, baik dlam ruang tertutup, maupun ruang terbuka. Bahwa sejatinya proses belajar adalah bagaimana kita mengenal alam. Contoh sederhana yang dapat kita lihat sebagai fenomena mengajar guru idaman pada sebuah film yang bertajuk kritik sosial dengan judul Alangkah Lucunya Negeri Ini. Yang mengisahkan pendidikan bagi anak-anak jalanan Ibu Kota. Dalam kisahnya pengajaran diarahkan pada kebutuhan-kebutuhan siswanya yang mayoritas berprofesi sebagai ‘maaf’ copet. Hal ini tentu menjadi pelajaran bagi kita semua sebagai calo0n guru untuk lebih meningkatkan lagi jangkauan pengabdian kita pada semua lapisan masyarakat yang ada di Indonesia ini. Guru diharapkan memberikan hal yang posotif-transformatif dalam menjalankan tugasnya sebagai kader Tuhan yang berprofesi paling mulia yang dengan segenap kemampuannya dapat membawa perubahan yang berarti bagi kesejahteraan umat dan bangsa juga sebagai asset pemerintah dalam membantu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Keikhasan merupakan kunci yang melekat pada Guru Idaman, dalam menjalankan tuganya sebagai guru, senantiasa ia memberikan hal yang berkesan mungkin, agar semua materi yang dikaji dapat melekat dalam ingatan murid. Pandai bercerita, humoris, penyayang, penyabar, dll, merupakan kekahasan yang wajib dimiliki seorang Guru Idaman.

Masa Depan Pendidikan Nasional dalam Genggaman Guru Idaman
Menakar idealita dari sebuah perjuangan seorang pengabdi tanpa tanda jasa merupakan wacana mulia dalam perjalanan kehidupan manusia. Sejatinya hidup merupakan keniscayaan-keniscayaan yang telah digariskan oleh Tuhan untuk menjalankan segala mandat-Nya. “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “ Aku hendak menjadikan Khalifah di Bumi……”{Al-Baqarah: 30}. Adalah konsekuensi logis jika seorang guru harus mencipta dan membina tunas-tunas bangsa untuk menjadi pemimpin bagi dirinya dan alam semesta. Inilah tugas seorang mandataris Tuhan yang paling mulia (baca: guru). Guru yang menjadi idaman adalah guru yang mampu menyadarkan semua manusia akan pentingnya hidup yang bebas, adil, dan berkeadaban. Guru idaman diharapkan menjadi jembatan bagi anak bangsa untuk membangun umat dan bangsanya dan mampu mewujudkan insan akademis, pencipta, dan pengabdi yang bernafaskan Islam serta bertanggung jawab atas terwujudnya Negara adil dan makmur yang diridhoi Allah Subhanahu wa ta’ala. Maka dengan keyakinan yang luhur disertai usaha yang ikhlas sampailah pada cita bersama untuk mengimplementasikan masa depan Pendidikan Nasional.

PUSTAKA ACUAN
Al-Qura’an al-Karim
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Hakim, Andri. 2010. Hipnosis in Teaching. Jakarta: Visimedia.
Chatib, Munif. 2009. Sekolahnya Manusia. Bandung: Kaifa.
Kumandar. 2007. Guru Profesional. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Soecipto & Raflis Kosasi. 2007. Profesi Keguruan. Jakarta: PT Rineka Cipta
Tengku Ramly, Amir. 2005. Menjadi Guru Idola. Bekasi: Pustaka Inti
Freire, Paulo. 1999. Politik Pendidikan. Yogyakarta:  Pustaka Pelajar.
Sokawati Dewantara, Bambang. 1989. Ki Hadjar Dewantara Ayahku. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Bandung, 12 April 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar