Johan
Aristya Lesmana
Pendidikan
nasional diracik dengan berbagai ramuan pemikiran yang diimpor dari berbagai
sistem, terutama sistem pendidikan yang berporos pada project memanusiakan manusia ala Amerika
Latin. Selayang pandang perjalanan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia
bermuara pada dibentuknya Taman Siswa di Yogyakarta oleh Raden Mas Suwardi
Surjaningrat akrab dipanggil Ki Hadjar Dewantara yang kemudian dinobatkan
sebagai Bapak Pendidikan Nasional. Bahkan hari Pendidikan Nasional yang biasa
diperingati setiap 02 Mei jatuh pada tanggal kelahirannya, yaitu 02 Mei 1889.
Dalam banyak kesempatan, para pemikir pendidikan mencetuskan banyak teori
mengenai sistem pendidikan. Teori-teori ini yang kemudian menjadi landasan
pemerintah untuk menerapkan Sistem Pendidikan Nasional.
Quo Vadis Pendidikan
Indonesia?
Adalah hal yang
telah lumrah diperbincangkan para aktor pendidikan, baik yang berada di depan
maupun belakang layar. Bahwa arah kemajuan bangsa selalu beriringan dengan
penyelenggaraan pendidikan Nasional yang mapan. Jika ditelaah lebih lanjut,
wacana berikut akan mengantarkan pada sebuah pertanyaan tentang mau dibawa kemana pendidikan nasional?. pertanyaan ini
bagaikan gerimis yang tak kunjung reda untuk dikaji dalam berbagai lingkaran
diskusi. Berbagai literature yang menyokong wacana ini cukup membanjiri deretan
etalase toko buku. Namun, entah mengapa sampai pada hari ini pertanyaan ini
belum juga didapat solusinya. Hal ini terbukti dengan silih bergantinya sistem
pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah. Jelas tergambar bahwa pemerintah
dewasa ini masih mencari sistem pendidikan yang ideal untuk masa kini—untuk
tidak dikatakan mencari sistem pendidikan yang tepat—yang bisa diterima oleh berbagai
kalangan dan mudah dalam penyelenggaraannya di ranah masyarakat luas secara
menyeluruh.
Dalam
Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II Pasal
3 menyebutkan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Isi dari UU berikut
menegaskan bahwa arah Pendidikan Nasional akan dibawa ke arah pengembangan
karakter yang bermutu. Karakter ini yang kemudian menjadi landasan bagi
pemerintah untuk membangun bangsa yang berkeadaban.
Guru sebagai Pendidik
Untuk mewujudkan
tujuan Pendidikan di atas, maka perlu untuk menengok pada kependidikan
yang paling berpengaruh dalam penyelenggaraannya, yakni pendidik (baca: guru).
Dalam hal ini diatur dalam UU Sisdiknas pada Bab XI Pasal 40 butir ke-2 poin
pertama tentang kewajiban pendidik, yaitu “Pendidik berkewajiban menciptakan
suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan
dialogis.” Jelaslah bahwa guru memiliki peran sentral dalam penyelenggaraan
pendidikan yang bermutu disamping peran serta masyarakat tentunya.
Guru sebagai
orangtua kedua memiliki peran yang penting dalam pengembangan Sumber Daya
Manusia yang bermutu. Oleh karena itu, perlu kiranya untuk mengembangkan pula
kemampuan guru yang professional untuk menciptakan suasana pendidikan yang
berkarakter. Hal ini disebabkan gurulah yang berada di barisan
terdepan dalam pelaksanaan pendidikan, gurulah yang langsung berhadapan dengan
pesewrta didik untuk mentransfer ilmu pengetahuan dan teknologi
sekaligus mendidik dengan nilai-nilai positif melalui bimbingan dan
keteladanan. Dari hal tersebut guru mempunyai misi dan tugas yang berat,
namun mulia dalam mengantarkan tunas-tunas bangsa ke puncak cita-cita..
oleh karena itu sudah selayaknya guru mempunyai berbagai kompetensi yang
berkaitan dengan tugas dan tanggung jawabnya. Dengan kompetensi tersebut, maka
akan menjadi guru yang professional, idola, dan idaman semua murid, baik
secara akademis maupub nonakademis.
Tinjauan Historis
Paradigma
mengajar menjadikan seorang guru memiliki mental otoriter atas segala wewenang
pengajaran dan murid-muridnya. Dalam kewenangan ini ia akan menganggap dirinya
paling tahu, paling mengerti, dan paling penguasai. Sementara muridnya harus
meminta segala pengetahuan , pengertian, dan penguasaan yang diberikan olehnya.
Hubungan antara guru dan murid menjadi formal, kering, dan lebih didasarkan
penugasan dan penilaian satu arah. Maka yang terbentuk bukanlah karakter pribadi
murid yang berkembang baik dengan segala keunikannya, dengan segala perilaku
dan gaya belajarnya yang khas, melainkan penyeragaman atas karakter pribadi,
perilaku dan gaya belajar murid demi melayani kemauan dan kehendak
mengajar seorang guru. Sedangkan paradigm belajar menjadikan seorang guru
memiliki mental egaliter, memahami kesetaraan dirinya dalam proses
belajar-mengajar dengan para muridnya. Dengan mentalitas seperti ini dia akan
memungsikan diri sebagai fasilitator dan mitra belajar yang saling menghormati
dan menghargai demi kemajuan bersama. Hubungan yang terbangun antara guru dan
murid menjadi pro-aktif dan selaras dengan pendekatan saling memahami sesuai
keunikan karakter pribadi, perilaku dan gaya belajar masing-masing murid. Maka
murid akan merasa dihargai dan terdorong mencari bentuk terbaik dari
kepribadiannya yang unik, sehingga mengoptimalkan kemampuan belajar yang sesuai
dengan kepribadiannya. Inilah gambaran guru yang menjadi idaman semua murid
yang diajarnya. Seorang guru yang memiliki jiwa hidup, yang mampu memberikan
pengajaran melalui kedalaman cinta berupa kebahagiaan, kasih saying, dan
pemahaman terhadap karakter dan kepribadian sertta perilaku dan gaya belajar
murid-muridnya, lantas menempatkan mereka dalam proses belajar mengajar yang
tepat.
Sosok Guru Idaman
Amir Tengku
Ramly dalam bukunya Menjadi
Guru Idola (8,2005) menegaskan
bahwa karakteristik guru Idaman ketika melaksanakan tugasnya meliputi; menagajar dari kedalaman cinta,
menagjar untuk kebagagiaan, mengajar untuk kesadaran, mengajar untuk memahami,
mengajar untuk pembebasan, mengajar untuk kompetensi, dan mengajar untuk
belajar. Ketujuh
karakteristik berikut merupakan motivasi seorang guru idaman dalam menjalankan
amanahnya sebagai seorang pengantar kesuksesan dunia akhirat. Dalam proses
mengajar di dalam kelas pun harus selalu menanamkan nilai-nilai demokrasi yang
membebaskan cara dan gaya belajar siswa dan juga memahami kebutuhan siswa yang
memiliki kemampuan khusus di bidang inderanya masing-masing. Dalam memahami
jenis karakter siswa yang berbeda, Sang Guru Idaman selalu memberikan fasilitas
yang beragam dalam penyampaiannya, tak heran jika ruang belajar pun dapat
dilakukan diamana pun, baik dlam ruang tertutup, maupun ruang terbuka. Bahwa
sejatinya proses belajar adalah bagaimana kita mengenal alam. Contoh sederhana
yang dapat kita lihat sebagai fenomena mengajar guru idaman pada sebuah film
yang bertajuk kritik sosial dengan judul Alangkah
Lucunya Negeri Ini. Yang
mengisahkan pendidikan bagi anak-anak jalanan Ibu Kota. Dalam kisahnya
pengajaran diarahkan pada kebutuhan-kebutuhan siswanya yang mayoritas
berprofesi sebagai ‘maaf’ copet.
Hal ini tentu menjadi pelajaran bagi kita semua sebagai calo0n guru untuk lebih
meningkatkan lagi jangkauan pengabdian kita pada semua lapisan masyarakat yang
ada di Indonesia ini. Guru diharapkan memberikan hal yang posotif-transformatif
dalam menjalankan tugasnya sebagai kader Tuhan yang berprofesi paling mulia
yang dengan segenap kemampuannya dapat membawa perubahan yang berarti bagi kesejahteraan
umat dan bangsa juga sebagai asset pemerintah dalam membantu mencerdaskan
kehidupan bangsa.
Keikhasan
merupakan kunci yang melekat pada Guru Idaman, dalam menjalankan tuganya
sebagai guru, senantiasa ia memberikan hal yang berkesan mungkin, agar semua
materi yang dikaji dapat melekat dalam ingatan murid. Pandai bercerita,
humoris, penyayang, penyabar, dll, merupakan kekahasan yang wajib dimiliki
seorang Guru Idaman.
Masa Depan Pendidikan
Nasional dalam Genggaman Guru Idaman
Menakar idealita
dari sebuah perjuangan seorang pengabdi tanpa tanda jasa merupakan wacana mulia
dalam perjalanan kehidupan manusia. Sejatinya hidup merupakan
keniscayaan-keniscayaan yang telah digariskan oleh Tuhan untuk menjalankan
segala mandat-Nya. “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para
malaikat, “ Aku hendak menjadikan Khalifah di Bumi……”{Al-Baqarah: 30}. Adalah konsekuensi logis jika seorang
guru harus mencipta dan membina tunas-tunas bangsa untuk menjadi pemimpin bagi
dirinya dan alam semesta. Inilah tugas seorang mandataris Tuhan yang paling
mulia (baca: guru). Guru yang menjadi idaman adalah guru yang mampu menyadarkan
semua manusia akan pentingnya hidup yang bebas, adil, dan berkeadaban. Guru
idaman diharapkan menjadi jembatan bagi anak bangsa untuk membangun umat dan
bangsanya dan mampu mewujudkan insan akademis, pencipta, dan pengabdi yang
bernafaskan Islam serta bertanggung jawab atas terwujudnya Negara adil dan
makmur yang diridhoi Allah Subhanahu wa ta’ala. Maka dengan keyakinan yang
luhur disertai usaha yang ikhlas sampailah pada cita bersama untuk
mengimplementasikan masa depan Pendidikan Nasional.
PUSTAKA ACUAN
Al-Qura’an al-Karim
UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
Undang-undang No.20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional
Hakim, Andri. 2010. Hipnosis in Teaching. Jakarta: Visimedia.
Chatib, Munif. 2009. Sekolahnya Manusia. Bandung: Kaifa.
Kumandar. 2007. Guru Profesional. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Soecipto & Raflis Kosasi.
2007. Profesi Keguruan. Jakarta: PT Rineka Cipta
Tengku Ramly, Amir. 2005. Menjadi Guru Idola. Bekasi: Pustaka Inti
Freire, Paulo. 1999. Politik Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Sokawati Dewantara, Bambang.
1989. Ki Hadjar Dewantara
Ayahku. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
Bandung,
12 April 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar